PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dunia modern, fungsi konstitusi negara-negara demokrasi pada hakikatnya adalah untuk menjamin bahwa para pemegang tampuk kekuasaan tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Konstitusi merupakan sebuah peraturan hukum yang mendasar, yang mengatur tugas-tugas dan organisasi kekuasaan negara serta mengatur hubungan hukum negara terhadap masing-masing warga negara. Negara-negara hukum yang berlandaskan konstitusi juga tidak selalu terlepas dari ketegangan yang terdapat antara konstitusi tertulis yang relatif statis dengan kenyataan politik, ekonomi, dan sosial yang dinamis dan kerap kali berubah-ubah. Ketegangan ini hanya dapat dijaga seminim mungkin atau dikurangi, jika aturan-aturan konstitusi tertulis memiliki cakupan yang relatif luas, fleksibel dan terbuka terhadap penyesuaian pada kenyataan politik yang selalu berubah-ubah. Satu kemungkinan terbuka untuk mencapai hal itu yaitu dengan adanya perubahan konstitusi secara informal, yang antara lain mencakup interpretasi konstitusi melalui mahkamah konstitusi. Agar maksud tersebut dapat tercapai, maka pada umumnya diperlukan prosedur resmi di hadapan Mahkamah Konstitusi, yang mana prosedur tersebut memberikan landasan bagi kemungkinan penafsiran konstitusi dari sudut pandang baru.
Saat ini Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) masih merupakan sebuah lembaga konstitusi negara yang relative muda dan lembaga ini sendiri adalah produk proses reformasi konstitusi yang dimulai sejak tahun 1998. Oleh karena itu sangatlah membesarkan hati melihat tali kendali mahkamah baru ini dalam umurnya yang masih muda sudah beberapa kali dilibatkan dalam menjernihkan permasalahan politik dalam negeri, yang di antaranya merupakan permasalahan yang sangat diperdebatkan, atas dasar interpretasi naskah konstitusi, dan melalui keputusannya telah menyebabkan hadirnya kemajuan-kemajuan dalam peradilan konstitusi Indonesia.
KAS merupakan organisasi Jerman yang sejak dulu sudah terkemuka di bidang kerjasamanya dengan negara berkembang dalam hal pembinaan mahkamah konstitusi, yaitu di negara-negara transformasi di Amerika Latin dan juga yang berada di benua Asia. Sudah sejak pertengahan tahun delapan puluhan abad lalu, dalam rangka program negara hukumnya di Asia Timur dan Asia Tenggara KAS melibatkan diri secara aktif dan berhasil dalam pembentukan institusional mahkamah konstitusi serta pengembangan kemampuan para hakim dan tenaga-tenaga ahli mahkamahmahkamah ini di beberapa negara di kedua bagian benua tersebut. Dalam kesempatan itu, khususnya seluruh mahkamah konstitusi Asia selalu dengan senang hati menerima pendapat para ahli Yayasan. Guna mendukung perkembangan lebih lanjut mahkamah konstitusi Asia melalui pembentukan jaringan, maka pada tahun 2003 KAS akhirnya mencetuskan diselenggarakannya Konferensi Hakim Mahkamah Konstitusi Asia, yang sejak saat itu diselenggarakan tiap tahun secara bergantian di ibukota-ibukota negara Asia Timur dan Asia Tenggara, di mana para anggotanya dapat membahas tema-tema aktual tentang penelitian hukum konstitusi mancanegara maupun regional.
Dewasa ini, istilah konstitusi sering di identikkan dengan suatu kodifikasi atas dokumen yang tertulis dan di Inggris memiliki konstitusi tidak dalam bentuk kodifikasi akan tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara Inggris dan mana pula juga Konstitusi Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu “Constitution” dan berasal dari bahasa belanda “constitue” dalam bahasa latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu “constiture” dalam bahsa jerman “vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan Undang – undang dasar. Konstitusi / UUD dapat diartikan peraturan dasar dan yang memuat ketentuan – ketentuan pokok dan menjadi satu sumber perundang- undangan. Konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakata negara
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diawal tulisan ini maka penulis hendak menjawab pertanyaan mengenai :
1. Kejelasan dari sebuah Konstitusi ?
2. Bagaimanakah kewenangan Mahkamah konstitusi dalam Negara hukum?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah untuk memenuhi tugas Mid Semester mata kuliah Hukum Konstitusi Ilmu Hukum sedangkan Manfaat konstruktif dalam pembuatan makalah ini ialah tidak lain agar memberikan pemahaman yang lebih jelas lagi kepada teman-teman mahasiswa di kalangan disiplin ilmu hukum maupun pada kalangan umum agar lebih memahami kembali esensi dan pentingnya sebuah konstitusi selain itu juga memberikan pemahaman yang jelas mengenai sistema kekuasaan yang di embankan kepada lembaga yudikatif kita di Indonesia sehingga dengan begitu masyarakat luas akan lebih mengerti terhadap setiap kebijakan dan keputusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Membicarakan masalah hukum konstitusi artinya membahas dua variabel, apa itu hukum? Dan apa yang dimaksud dengan konstitusi? Keduanya terkait erat dengan persoalan negara dan karena itu untuk memahami pengertian hukum konstitusi haruslah dipahami terlebih dahulu tentang negara itu sendiri.
Konstitusi (Latin constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara - biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis - Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Untuk melihat konstitusi pemerintahan negara tertentu, lihat daftar konstitusi nasional. Dalam bentukan organisasi konstitusi menjelaskan bentuk, struktur, aktivitas, karakter, dan aturan dasar organisasi tersebut.
2.1 Konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal).
2.2 Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan
b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi
2.3 Tujuan dan Fungsi Konstitusi
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Fungsi konstitusi antara lain ialah:
1. Fungsi Ideologi: Konstitusi mengandung indoktrinasi (komitmen) ideologi sehingga konstitusi dipandang sebagai instrumen ideology atau rumusan cita-cita awal negara.
2. Fungsi Nasionalistik: Konstitusi merupakan kontribusi dari perasaan semangat kebangsaan.
3. Fungsi Regulasi: Konstitusi memberikan jaminan stabilitas dalam masyarakat dengan menentukan pola-pola sikap dan tindak-tanduk dari setiap elemen negara (individu, organ negara dan aparat).
4. Fungsi Rasionalisasi: Konstitusi dalam kenyataannya merupakan pengungkapan dari keinginan-keinginan politik, tujuan-tujuan politik dan cita-cita negara yang formulasikan dalam terminologi yuridis.
5. Fungsi Hubungan Masyarakat: Konstitusi memiliki fungsi yang menimbulkan respek (mematuhi/rasa hormat) baik ke dalam maupun keluar. Maksudnya konstitusi berfungsi memasyarakatkan negara secara intern maupun ekstern.
6. Fungsi Registrasi: Konstitusi merupakan catatan dari hasil-hasil konflik politik yang diformulasikan menjadi norma-norma politik.
7. Fungsi Symbol: Konstitusi merupakan formulasi dari norma-norma dan nilai-nilai dasar kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berproses membentuk nilai dan norma dasar yagg membentuk kesepakatan menerima asas demokrasi, keadilan dan Negara hokum yang dicerminkan oleh lembaga-lembaga Semua asas-asas tersebut (dalam bahasa konstitusi disebut norma-norma konstitusional) memiliki nilai-nilai tersendiri, yang secara sadar merupakan instrumen untuk mempersatukan jiwa setiap keluarga.
8. Fungsi Pembatasan: membatasi semua atau sebagian dari aktivitas (proses) politik sebagai akibat kehidupan bernegara yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan karena perkembangan diberbagai bidang.
2.4 Klasifikasi Konstitusi
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.
Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and unwritten constitution);
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution)
d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)
2.5 Kekuasaan Konstitusi
Sejarah konstitusi pada abad XVIdan XVII Tumbuh kembali konsep Negara Hukum: Mengeluarkan masyarakat dari perbudakan / kegelapan karena tindakan sewenang-wenang (absolutisme) penguasa. Hal ini juga melahirkan paham liberal dan Lahir ajaran baru.
2.6 Pemisahan kekuasaan
John Locke: Legislative (fungsi membuat undang-undang), Executive (menjalankan undang-undang), Federative (hubungan luar negeri). Montesquieu Legislative (fungsi membuat undang-undang), Executive (menjalankan undang-undang), Yudikatif: Pemisahan kekuasaan ini oleh Immanuel Kant kemudian disebut dengan istilah Trias Politica. Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum (J. J. Rosseau) Hak Asasi Manusia. Ada 3 hak dasar manusia menurut John Locke: hak untuk hidup, hak untuk memiliki, dan hak untuk bebas dari ancaman, menentukan hidup dan kehidupan (freedom).
Pada abad modern, semua konstitusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian.
1. Kekuasaan menjadi fondasi menjalankan pemerintahan Negara.
2. Kekuasaan perlu dibagi atau dipisah-pisah diantara organ Negara.
3. Kekuasaan perlu dibatasi agar tidak digunakan sewenang-wenang.
Hal terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang menjadi hakikat dari paham konstitusional. Konstitusi berlaku dan mengikat bagiorganisasi Negara dan warga masyarakat. Sebuah konstitusi bersumber dari prinsip:
1. Paham kedaulatan rakyat: sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat
2. Paham kedaulatan raja: sumber legitimasi konstitusi adalah raja yang menentukan berlaku tidaknya konstitusi.
2.7 Konstitusi dalam arti sempit dan luas
Konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti sempit adalah aturan dasar yang tertuang secara tertulis dalam suatu naskah dokumen tertentu dan diberikan sifat agung serta luhur sebagai landasan konstitusional tertinggi dalam mengatur negara. Konstitusi dalam arti sempit ini biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar (Loi Constitutionallle). Kekuasaan merupakan sesuatu yang mutlak harus dibatasi sesuai dengan adigium “power tends to corrupt; absolute power corrupt absolutely”. Oleh karena itu konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam negara.
Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan tatanan aturan dalam rangka penyelenggaraan negara baik tertulis (written constitution) maupun tidak tertulis (unwritten constitution). Konstitusi tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga“non-hukum”. Hal ini dapat kita lihat dalam pengertian konstitusi yang dikemukakan KC Wheare. Dengan demikian, setiap negara pasti mempunyai konstitusi untuk mengatur jalannya kehidupan negara.
2.8 Nilai Konstitusi
1. Nilai Normatif. Bagi suatu Bangsa konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum, tetapi juga merupakan suatu kenyataan (Reality). Dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Contoh negara yang menganutnya yaitu negara Amerika Serikat.
2. Nilai Nominal. Dalam hal ini konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataanya tidak sempurna. Ketidak sempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini jangan dikacaukan bahwa sering kali suatu konstitusi yang tertulis berbeda dari konstitusi yang dipraktekan oleh negara Indonesia.
3. Nilai Semantik. Konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik contoh negara Indonesia pada masa Orde Lama.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 24c, ayat (1) UUD Tahun 1945 :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Reformasi di Indonesia dimulai pada tahun 1998, gerakan reformasi di samping bertujuan menuntut pengunduran diri presiden juga menuntut perubahan sistem ekonomi, sistem politik dan sistem hukum, karena sistem ekonomi yang dibangun tidak mampu menghadapi cobaan (krisis) yang terjadi, sistem politik otoriter jauh dari nilai/paham demokrasi dan sistem hukum tidak ada kejelasan walaupun dalam UUD 1945 dengan jelas bahwa Indonesia negara berdasarkan hukum.
Pada acara penyampaian pidato resmi kenegaraan di depan DPR RI tanggal 15 Agustus 1998 Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatannya tanggal 21 Mei 1998, antara lain mengemukakan bahwa esensi dari gerakan reformasi nasional ini adalah koreksi terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada tanggal 21 Mei 1998, beliau telah menyampaikan tekad untuk melaksanakan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang. Tujuannya adalah untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis dan menegakkan hukum sebagai langkah awal gerakan reformasi sistem politik. Setelah diadakan Pemilu Tahun 1999 dan terbentuk DPR/MPR, maka MPR dalam sidang-sidangnya telah mengamandemen UUD tahun 1945 sebagai langkah awal reformasi hukum. Amandemen dilakukan secara bertahap sejak SU MPR tahun 1999 sampai sidang tahunan 2002 (sebanyak 4 kali amandemen). Amandemen UUD tahun 1945 merupakan hal yang wajar untuk menuju praktek kenegaraan yang lebih demokratis, hal ini mengingat UUD tahun 1945 mengandung kelemahan-kelemahan sehingga praktek kenegaraan di Indonesia oleh gerakan reformis dianggap kurang demokratis.
3.1 Perkembangan Hak Menguji Undang-Undang (JR)
Salah satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari kesewenang-wenangan. Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.
Perkembangan Mahkamah Konstitusi yang ada di dunia diawali dari kasus Madison versus Madbury di Amerika Serikat. Pada awalnya manfaat dari Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan keperluan untuk mengadakan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan parlemen. Inti perdebatan dalam kasus tersebut adalah bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall ditantang untuk melakukan pengujian (review atau toetsting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh Konggres. Keputusan Madbury melawan Madison pada tahun 1803 itu sangat populer dan diyakini sebagai awal kelahiran judicial review di USA. Kepala Kehakiman John Marshall berpendapat bahwa konstitusi tertulis dan pengadilan independen menyiratkan kekuasaan judicial review ada di Mahkamah Agung, hal ini berkaitan karena adanya kenyataan ketidaksesuaian antara konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak mempunyai pilihan lain, harus memberlakukan hukum yang lebih tinggi, dan harus menganulir undang-undang yang lebih rendah.
Tanggapan mengenai hal ini dapat ditemukan dari komentar R.H.S. Crossman, seorang anggota kabinet Partai Buruh Inggris yang bertanggung jawab terhadap hukum imigrasi pada tahun 1968, yang menolak masuknya lebih kurang 100 ribu warga negara Inggris yang tinggal di Kenya ke Inggris; dia kemudian mengatakan bahwa hukum ini akan dideklarasikan tidak konstitusional di setiap negara dengan konstitusi tertulis oleh Mahkamah Agung.
3.2 Praktek Judicial Review
Tiga negara dengan konstitusi tidak tertulis, serta enam negara yang mempunyai konstitusi tertulis dan pengadilan tinggi, menolak secara eksplisit adanya kekuasaan judicial review. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa parlemen adalah pemberi garansi tertinggi dari kosntitusi. Prinsip demokrasi merupakan suatu keputusan penting dan vital maka penyesuaian hak terhadap konstitusi seharusnya dibuat melalui perwakilan yang dipilih rakyat, tidak dibuat oleh badan pengadilan yang ditunjuk dan mewakili rakyat.
Sebagai kompromi antara dua pemikiran bertentangan ini, beberapa negara mempercayakan judicial review ke pengadilan atau badan konstitusional khusus daripada ke sistem pengadilan umum, dan badan tersebut terkenal dengan nama Mahkamah Konstitusi. Konstitusi Amerika Serikat sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan upaya yang pada pokoknya bersifat mempersoalkan produk hukum yang dibuat oleh Konggres yang merupakan cabang kekuasaan legislatif. Namun kemudian terjadi perkembangan, selanjutnya timbul ide untuk membentuk Komisi Konstitusi tersendiri di luar struktur Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya.
Sebagai contoh kekuasaan peradilan tertinggi di USA berada di tangan Mahkamah Agung yang kekuasaannya sangat tinggi dan sangat dipercaya oleh masyarakatnya sebagai lembaga yang suci, karena keputusan-keputusannya tidak pernah mengecewakan rakyat Amerika, bahkan dapat menyelesaikan perselisihan pendapat tentang hasil Pemilu Presiden. Mahkamah Agung mengadili perselisihan pendapat tentang hasil pemilihan Presiden yang terakhir dan keputusannya menetapkan George W. Bush sebagai Presiden dan Al Gore sebagai Wakil Presiden, dan keputusan tersebut ditaati rakyat Amerika.
3.3 Hak Menguji
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak menguji, yaitu :
a. Hak menguji formal,
b. Hak menguji material.
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat diartikan bahwa :
• Hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD.
• Hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif.
3.4 Hak Menguji Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia pengaturan hukum tentang judicial review menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers membicarakan tentang undang-undang dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Apakah akan memasukkan judicial review atau tidak dalam konstitusinya. Sepanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan kekuasaan kehakiman, selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang baru, namun mengenai sistem negara hukum, sudah sejak berdiri Indonesia menganut negara hukum. Hal ini tercantum dengan jelas dalam penjelasan UUD tahun 1945 (sebelum diamandemen) yang menyatakan antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
Sebelum amandeman, UUD tahun 1945 kewenangan kekuasaan kehakiman (peradilan) berada pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UUD tahun 1945. Kewenangan ini yang diatur dalam peraturan perundangan yang lain yaitu Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau antar Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi : Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangPasal 31 UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan dan Pasal 26 UU No 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Hak menguji secara materil terhadap undang-undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Agung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang. Implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu PERMA No.1 tahun 1999 yang telah dicabut dengan PERMA No. 1 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Prosedur/tata cara hak uji materil diatur dalam PERMA, dengan pertimbangan ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengatur hak uji materil tersebut bersifat singkat tanpa mengatur tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan hak uji materil. Seyogyanya hal ini diatur dalam bentuk undang-undang, karena berkaitan dengan masalah hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung dalam fungsi menjalankan peradilan.
Pelaksanaan hak menguji undang-undang (judicial review) dalam prakteknya belum optimal karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Hak menguji yang menjadi wewenang Mahkamah Agung terbatas kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yang artinya tidak sepenuhnya berada di bawah kendali Mahkamah Agung, tetapi masih di bawah kendali birokrasi politik. Rumusan seperti ini merupakan cermin kondisi yang terjadi saat itu, yaitu terjadinya tarik menarik antara dua kekuatan yang berlawanan dalam pembahasan pada saat menyusun undang-undang yang pertama memuat masalah judicial review yakni Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman yaitu, antara pihak yang menghendaki Mahkamah Agung mandiri dengan kelompok yang menentang Mahkamah Agung mandiri.
Mengingat kondisi sosial politik pada masa reformasi yang dinamis dan menghendaki praktek kehidupan demokrasi yang lebih baik, maka MPR membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemerintahan berjalan seimbang, tidak sewenang-wenang, lahirlah undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Lahirnya undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi, akan membawa konsekuensi adanya perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung. Karena beberapa kewenangan Mahkamah Agung yang ada sekarang akan dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu hak menguji undang-undang (judicial review).
Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 24 UUD tahun 1945 yang mengatur kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. Kewenangan lembaga peradilan/kekuasaan kehakiman ditambah dengan membuat aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengatur wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar, yaitu Pasal 24c yang ayat (1) UUD tahun 1945 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan yang besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara, antara lain melakukan pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; menyelesaikan perselisihan kewenangan antara lembaga negara; memutuskan pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. Adanya Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi untuk menjamin tegaknya prinsip negara hukum modern (Moderne Democratische Rechtsstaat) dan memperkuat sistem demokrasi negara modern (modern constitutional democracy). Dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik.
Mengutip Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan kekuasaan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Paham Konstitusionalisme. Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2. Sebagai Mekanisme Check and Balances. Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.
3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih. Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.
Di samping keempat alasan tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004, bersifat integrated, rule of law, accountability, dan transparancy. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi logis dari negara yang menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan sistem demokrasi modern,
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban dari keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang-undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi mengakomodasikan kepentingan rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang-undang yang bertentangan dengan UUD tahun 1945 sehingga rakyat dapat mengajukan judicial review.
Masyarakat sangat antusias menyambut keberadaan lembaga ini, hal ini dapat dilihat dari permohonan judicial review yang diajukan di Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi, terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selalu meningkat setiap tahunnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 24c dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 merupakan langkah awal bangsa Indonesia dalam menjalankan pembangunan sistem hukum sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum agar praktik kenegaraan di Indonesia lebih demokratis dan adil sesuai amanat UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat mengajukan JR terhadap undang-undang yang dianggap merugikan kepentingan dan bertentangan dengan undang-undang dasar.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang sudah dapat menunjukkan kinerjanya dalam menangani perselisihan pendapat antara para pihak terhadap suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu semua pihak yang terlibat dalam penyiapan undang-undang, khususnya DPR dan Pemerintah seharusnya lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dan tidak meninggalkan prinsip filosofis, yuridis dan sosiologis dalam membentuk suatu undang-undang, untuk mengurangi undang-undang yang dibuat tersebut dinilai oleh masyarakat telah merugikannya dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
4.2 Saran
Untuk menjaga kredibilitasnya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengambil keputusan dalam menguji suatu undang-undang hendaknya menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu.
Bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (baik pihak pemerintah, dewan perwakilan maupun masyarakat luas) dituntut selalu meningkatkan kompetensinya. Salah satu usaha untuk itu adalah melalui pendidikan dan pelatihan bagi pihak yang menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan untuk mengikutinya secara rutin dan bertahap dengan harapan kompetensi yang bersangkutan akan selalu meningkat dan terjaga dengan baik, yang akhirnya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan lebih baik dalam arti mengakomodasikan kepentingan semua pihak, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan gejolak yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
No comments:
Post a Comment