Desa memegang peranan yang strategis dalam proses pembangunan nasional, disamping karena sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di perdesaan, juga karena pemerintahan desa merupakan lembaga pemerintahan otonom sejak sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Melalui pemerintahan desa, masyarakat desa mengatur dan mengurus rumah tangganya, sesuai kebutuhan dan budaya setempat. Akan tetapi, kebijakan pembangunan perdesaan yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru, mengakibatkan masyarakat desa dalam posisi marjinal, hanya menjadi pengikut dan obyek semata. Sebagian besar kebijakan Pemerintah bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat tinggi, akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber bertindak).
Kelahiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan UU Otonomi memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan kesempatan yang diberikan oleh UU No. 22 tersebut hendaknya dapat masyarakat dapat kembali berperan, menemukan jati dirinya yang selama ini hilang, antara lain mencakup :