Pages

WELCOME TO MY COURT

WELCOME TO MY COURT
If you say my eyes beautiful it's because their looking at You

Friday, September 3, 2010

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERDESAAN MELALUI MUSYAWARAH PEMBANGUNAN PARTISIPATIF (MPP)

Desa memegang peranan yang strategis dalam proses pembangunan nasional, disamping karena sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di perdesaan, juga karena pemerintahan desa merupakan lembaga pemerintahan otonom sejak sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Melalui pemerintahan desa, masyarakat desa mengatur dan mengurus rumah tangganya, sesuai kebutuhan dan budaya setempat. Akan tetapi, kebijakan pembangunan perdesaan yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru, mengakibatkan masyarakat desa dalam posisi marjinal, hanya menjadi pengikut dan obyek semata. Sebagian besar kebijakan Pemerintah bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat tinggi, akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber bertindak).
Kelahiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan UU Otonomi memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan kesempatan yang diberikan oleh UU No. 22 tersebut hendaknya dapat masyarakat dapat kembali berperan, menemukan jati dirinya yang selama ini hilang, antara lain mencakup : (a) penguatan peran masyarakat (tidak sekedar peranserta masyarakat) yaitu menempatkan masyarakat secara bertahap dalam posisi menjadi tuan dan terlibat pada proses pengambilan keputusan dalam pembangunan; dan (b) penguatan semangat good governance yaitu adanya transparansi, akuntabilitas, peningkatan profesionalisme, kepedulian terhadap rakyat, dan komitmen moral yang tinggi dalam segala proses pembangunan.
Dalam era otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, dimana masyarakat dan Pemerintah lebih dekat dan bersama-sama dalam menyelenggarakan pembangunan, maka Pemerintah diharapkan mampu secara efektif membaca kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka paradigma community driven development yaitu penciptaan iklim untuk memberi penguatan peran masyarakat untuk ikut dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, ikut menggerakkan atau mensosialisasikan, ikut melaksanakan pembangunan, dan melakukan kontrol publik menjadi sangat signifikan. Hal itu bisa terkait dengan perencanaan, implementasi, dan keberlanjutan berbagai macam program sesuai dengan permasalahan dan urutan prioritasnya yang melalui proses demokratis, inklusif, dan transparan yang disepakati untuk ditangani bersama.
Berbicara tentang pengembangan program pembangunan perdesaan, kegagalan penerapan program-program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralisasi dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat. Partisipasi saat itu lebih diartikan pada bagimana upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Untuk itu, paradigma pembangunan perdesaan yang harus dikembangkan adalah pembangunan yang aspiratif yang mengutamakan partisipasi masyarakat dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang sebagai faktor utama dalam perencanaan dan implementasi pembangunan. Konsep pembangunan aspiratif tersebut, dapat ditempuh melalui suatu proses pemberdayaan pada masyarakat sehingga mampu untuk mengidentifikasi kebutuhannya sendiri atau kebutuhan kelompok masyarakat sebagai suatu dasar perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, maka konsep pembangunan aspiratif mengandung tiga unsur penting yaitu peningkatan peran masyarakat dalam perencanaan dan implementasi pembangunan, orientasi pemahaman masyarakat akan peran tersebut, dan peran pemerintah sebagai fasilitator.
2. Rumusan Masalah
Tulisan ini akan mengkaji pengembangan program-program pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat perdesaan itu sendiri, yaitu bagaimana menyusun perencanaan program-program pembangunan perdesaan bersama masyarakat (termasuk bagaimana menentukan prioritas program dan strategi pendanaan program), serta bagaimana melibatkan masyarakat dalam melaksanakan dan mengevaluasi program-program pembangunan perdesaan.
Konsep yang dikembangkan adalah pola Musyawarah Pembangunan Partisipatif (MPP).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pembangunan Perdesaan : Sistem pembangunan jalan ditempat
Selama ini kata desa mendapatkan stereotipe jelek. Desa selalu diidentikan dengan kondisii keterbelakangan, kuno dan tidak modern, tempat banyak orang miskin. Dalam hal tertentu desa juga berarti kampungan. Sterotipe yang bernada negatif ini beranjak dari fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar kantung kemiskinan berada dipedesaan. Angka kemiskinan Indonesia telah meningkat menjadi 17,75 persen ditahun 2006, dibandingkan tahun 2004 sebesar 16,7 persen. Dari angka tersebut, 63,58 persen dari rakyat miskin adalah rakyat yang tinggal di pedesaan. Kondisi ini akhirnya semakin mengukuhkan stereotipe desa hingga akhirnya terbentuklah istilah desa tertinggal yang ditindaklanjuti dengan program inpres desa tertinggal yang kemudian berlanjut pada pembentukan kementrian pembangunan daerah tertinggal.
Kondisi perdesaan yang terbelakang baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya inilah yang kemudian melatar belakangi dilaksanakannya konferensi internasional tentang pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan pada tahun 2006. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang turut mengirimkan delegasi dan ikut mendeklarasikan serta berkomitmen dalam pembangunan perdesaan. Mengingat pentingnya peranan negara dalam membangun dan mensejakhterkana masyarakat perdesaan tersebut, maka saat ini muncullah inisiasi untuk membakukan secara legal mengenai kewajiban pemerintah dan warga negaranya untuk melakukan pembanguan perdesaan. Terkait dengan pembangunan perdesaan, pengaturan mengenai pemerintahan desa turut menjadi wacana. Mulai tahun 2007, pemerintah telah melakukan penyusunan RUU desa yang mengatur tentang masalah pemerintahan desa beserta kewenangannya.
Dibalik hiruk pikuknya pembuatan berbagai landasan legal untuk pembangunan perdesaan, pemerintahan desa dan masyarakat desa muncul satu pertanyaan penting. Apa pengertian dari pembangunan perdesaan itu sendiri?, lalu karakter pembangunan perdesaan seperti apakah yang akan dibangun? . Pertanyaan ini timbul bertolak dari relaitas pembangunan yang sudah kita alami bersama semenjak Indonesia menyatakan kemerdekaan di tahun 1945 lalu. Pembangunanisasi pertanian dan pedesaan justru menjadi de-pembangunanisasi pertanian dan pedesaan, termasuk malah menelantarakan petani yang seharusnya menjadi subjek dari pembangunan itu sendiri.
2. Musyawarah Pembangunan Partisipatif (MPP) : Konsep Pembangunan Bersama Masyarakat
Konsep perencanaan pembangunan yang diterapkan pada wilayah pedesaan telah mengupayakan keterpaduan perencanaan pembangunan dari atas dan dari bawah yang dikenal dengan Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengelolaan Pembangunan Daerah (P5D). Akan tetapi pada prakteknya keterpaduan tersebut tidak terwujud karena masih sangat dominannya perencanaan dari atas. Kelemahan perencanaan pembangunan yang tidak aspiratif ini disadari oleh Pemerintah Daerah.
Dalam Musyawarah Pembangunan Partisipatif (MPP), partisipasi masyarakat diakomodir dan dikembangkan pada semua tahapan proses pembangunan, yaitu :
1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan pembangunan. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan ditetapkan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah proses dimana prioritas-prioritas rencana dipilih untuk diruangkan dalam program pembangunan desa itu sendiri, sehingga dengan mengikutsertakan masyarakat secara tidak langsung mereka telah mengalami pendidikan dalam menentukan masa depannya secara demokratis.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencxana yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini partisipasi dapat dilihat dari (i) jumlah anggota masyarakat yang berpartisipasi, (ii) bentuk barang atau jasa yang dipartisipasikan, (iii) pelaksanaannya langsung atau tidak langsung, dan (iv) semangat untuk berpartisipasi.
3. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat, dan ikut menikmati dan menggunakan sarana hasil pembangunan,
4. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai dan mengawasi kegiatan pembangunan serta memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai.
3. Keterpaduan Perencanaan Program-Program Pembangunan Perdesaan (Top Down Vs Bottom Up) Melalui Pola Mpp
Visi-konsep yang dikembangkan pola musyawarah pembangunan partisipatif (MPP) adalah bahwa pembangunan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat, baik dalam pendanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, maupun resiko pembangunan yang harus dihadapi. Prinsip dasarnya adalah pemerintah yang semula berciri hirarkis dan terpusat menjadi kemitraan dan pemberdayaan.
Secara konseptual pola P5D telah memadukan perencanaan pembangunan dari bawah (Masyarakat) dengan perencanaan dari atas (Dinas sektoral) melalui proses perencanaan pembangunan berjenjang dari tingkat Desa (Musbangdes), Kecamatan (Diskusi UDKP), sampai Kabupaten (Rakorbang). Akan tetapi, keterpaduan antar komponen perencana tersebut tidak terwujud karena dominannya perencanaan dari atas. Pola MPP tetap mengikuti alur perencanaan yang sudah ada dengan mengadopsi konsep keterpaduan P5D, namun dengan memberikan penekanan pada :

(1) Pelibatan partisipasi aktif semua peserta forum musyawarah perencanaan,

(2) Meningkatkan bobot keterwakilan masyarakat dalam forum perencanaan

(3) Meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawah dalam program Dinas sektoral,

(4) Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus memiliki ketajaman prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

(5) Bantuan pendampingan dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan, dan

(6) Desiminasi dokumen Rencana Pembangunan Daerah (Poldas, Renstra, Repetada) sampai kepada masyarakat desa sebagai bahan penyusunan perencanaan masyarakat.

Agar keterpaduan perencanaan program-program pembangunan perdesaan atas-bawah dapat terwujud, maka prinsip yang dikembangkan pola MPP adalah :
(1) Prinsip di tingkat Desa à Membudayakan warga Desa memikirkan Desanya dan atau pembangunan desanya, dilakukan melalui : (a) Perumusan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sendiri sebagai input dalam proses perencanaan pembangunan desa, (b) Pengenalan potensi yang dimiliki masyarakat.
(2) Prinsip di tingkat Kecamatan à Masyarakat melakukan : (a) Inventarisasi hal-hal positif yang dirasakan, (b) Pendalaman atau penambahan daftar masalah yang dihadapi setelah memahami hal yang positif, (c) Penentuan tindakan dan aktor pelaksana penanganan masalah, (d) Penetapan prioritas sendiri.
(3) Prinsip di tingkat Kabupaten à (a) Seluruh peserta mendengarkan presentasi usulan dari masyarakat, (b) Masayarakat mendengarkan dan mengkritisi program tiap Dinas yang dipresentasikan (tujuan dan manfaatnya), (c) Merumuskan tindakan untuk penanganan tiap usulan masyarakat : usulan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat, usulan yang membutuhkan bantuan dari Pemerintah, dan usulan yang akan ditangani oleh Pemerintah.

4. Pengembangan Program Pembangunan Perdesaan Oleh Dinas/Instansi Sektoral

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 telah menggariskan kebijakan program pembangunan perdesaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan, mempercepat industrialisasi perdesaan. Sasarannya adalah meningkatnya pendapatan masyarakat perdesaan, terciptanya lapangan kerja, tersedianya bahan pangan dan bahan lainnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi, terwujudnya keterkaitan ekonomi antara perdesaan dan perkotaan, menguatnya pengelolaan ekonomi lokal, dan meningkatnya kapasitas lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah : (i) Pembangunan prasarana dan sarana, (ii) Pembangunan sistem agribisnis, (iii) Pengembangan industri kecil dan rumah tangga, (iv) Penguatan lembaga dan organisasi masyarakat, (v) Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran, (vi) Penguatan teknologi tepat guna, (vii) Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial-ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga miskin secara terpadu, dan (viii) Penyempurnaan terhadap struktur organisasi pemerintahan desa dan lembaga-lembaga sosial ekonomi.
Pengembangan program-program pembangunan perdesaan oleh Dinas/Instansi sektoral selain mengacu kepada GBHN, juga mengacu kepada dokumen-dokumen perencanaan jangka menengah-panjang yang sudah ada, seperti Renstra, Renstrada, Propenas, dan Propeda. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah mengacu kepada aspirasi dan kebutuhan masyarakat perdesaan itu sendiri yang antara lain dapat diperoleh dari hasil MPP ataupun dari hasil penelitian/pengumpulan data di lapangan. Berbagai program pembangunan perdesaan telah disusun dan diimplementasikan langsung ke masyarakat perdesaan oleh Dinas/Instansi sektoral. Dari tingkat pusat, misalnya ada program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Penanggulangan Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan sebagainya. Dari Dinas/Instansi sektoral daerah juga banyak program-program pembangunan perdesaan yang telah disusun dan dilaksanakan. Akan tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa karena lemahnya koordinasi lintas sektoral maka banyak terjadi program yang tumpang tindih antar sektor dan masih sangat kuatnya ego sektoral, sehingga seringkali membingungkan masyarakat sasaran.
Perbedaan pokok program yang dibuat masyarakat dengan program yang dibuar oleh Pemerintah (Dinas/Instansi sektoral) adalah terletak pada acuan awal dalam proses perencanaan itu sendiri. Pada perencanaan sektoral, kajian terhadap masalah dan potensi dilakukan berdasarkan selera perencana, dan lebih fatal lagi tanpa didukung data yang mutakhir dan valid. Sebaliknya perencanaan yang dibuat langsung oleh masyarakat menggunakan acuan kajian masalah dan potensi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, dan sasarannya pun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
5. Perencanaan Program-Program Pembangunan Perdesaan
Agar program-program pembangunan perdesaan yang dibuat Dinas/Instansi sektoral tepat sasaran/benar-benar dibutuhkan masyarakat, dalam arti dapat menyelesaikan permasalahan dan sesuai potensi yang ada di masyarakat, maka aspirasi dan kebutuhan masyarakat haruslah menjadi acuan yang penting. Langkah-langkah proses perencanaan adalah : (i) Analisis Masalah, (ii) Analisis Tujuan, (iii) Analisis Alternatif, (iv) Analisis Stakeholders, dan (v) Penyusunan Program.
ANALISIS MASALAH
Masalah adalah : (i) Kesenjangan atau perbedaan antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan, (ii) Perbedaan antara situasi yang dihadapi dengan situasi yang diharapkan, dan (iii) Perbedaan antara kenyataan dan yang ideal. Struktur masalah : (i) Tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan masalah lain, (ii) Terdiri dari berbagai komponen, yang paling penting dalai inti (akar) masalah, sebab dan akibat, (iii) Tersusun dalam bentuk linier/lurus, bercabang dan melingkar.
Analisa masalah adalah proses mengidentifikasi komponen, hubungan antar komponen, hubungan antar komponen dan faktor di sekitar masalah. Hubungan yang paling penting adalah sebab, akibat dan inti masalah. Dari analisa masalah kemudian dapat dirumuskan masalah.
ANALISIS TUJUAN
Tujuan adalah situasi, kondisi, keinginan, perubahan yang ingin dicapai program, yang dianggap ideal dan yang direncanakan program. Analisis tujuan adalah proses mengidentifikasi komponen tujuan, yang terdiri dari tujuan umum, tujuan khusus dan sasaran. Tujuan umum (Goals) adalah tujuan jangka panjang yang ingin dicapai program, bersifat umum (nasional, regional, sektoral), tidak dapat dicapai sendiri oleh program dan memerlukan program lainnya, dan tidak terlalu jauh dengan tujuan khusus.
Tujuan khusus adalah bagian dari tujuan umum atau sub tujuan untuk memudahkan menentukan sasaran. Sedangkan sasaran adalah bagian atau rincian tujuan/tujuan khusus, hasil yang diperoleh dari suatu kegiatan dan lebih operasional dari tujuan, serta memenuhi kriteria : Spesifik (Specific), terukur (Measurable), bisa dicapai (Achievable), realistis (Realistic), dan waktu terbatas (Time limit) atau SMART.
ANALISIS ALTERNATIF
Alternatif adalah pilihan sasaran untuk mencapai tujuan, ada prioritas sasaran untuk mencapai tujuan (yaitu prioritas pertama, kedua, atau bukan prioritas). Prioritas pertama (1), sasaran harus diselesaikan pertama dan tidak boleh ditunda karena kalau tidak maka program akan gagal. Prioritas kedua (2), sasaran diselesaikan setelah sasaran prioritas pertama dan dapat mempengaruhi keberhasilan program. Tidak prioritas (0), sasaran boleh ditangguhkan karena tidak mempengaruhi keberhasilan program. Analisis alternatif adalah proses mengidentifikasi berbagai alternatif sasaran untuk mencapai tujuan, dan merumuskan daftar prioritas sasaran.
ANALISIS STAKEHOLDERS
Stakeholders adalah kelompok di dalam dan di luar organisasi yang mempunyai peran dalam menentukan kinerja organisasi. Misalnya :
· Kelompok yang menjadi target program : Pemerintah Desa, BPD, LPM/LKMD, tokoh masyarakat, perempuan, pemuda, lembaga lokal, dsb.
· Kelompok lain yang terkait atau dipengaruhi program : LSM lokal, Forum BPD, Assosiasi Kepala Desa, dll.
· Lembaga pemerintah dan masyarakat yang terkait atau mempengaruhi program : Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Dinas/Instansi terkait, dsb.
· Lembaga lain termasuk lembaga donor : World Bank, Asian Developmen Bank (ADB), The Ford Foundation, AUSAID, USAID, NZODA, OECF, dll.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Melalui beberapa point dalam pembahasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa:
· Agar program-program pembangunan perdesaan yang dibuat tepat sasaran/benar-benar dibutuhkan masyarakat, dalam arti dapat menyelesaikan permasalahan dan sesuai potensi yang ada di masyarakat, maka aspirasi dan kebutuhan masyarakat haruslah menjadi acuan yang penting. Langkah-langkah proses perencanaan adalah : (i) Analisis Masalah, (ii) Analisis Tujuan, (iii) Analisis Alternatif, (iv) Analisis Stakeholders, dan (v) Penyusunan Program.
· Carayang tepat melibatkan masyarakat dalam melaksanakan dan mengevaluasi program-program pembangunan perdesaan. Ialah dengan Konsep pola Musyawarah Pembangunan Partisipatif (MPP).
2. Saran
Pengembangan program-program pembangunan perdesaan harus sudah dilaksanakan dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pelaku pembangunan. Untuk itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
· Program-program pembangunan perdesaan harus didasarkan dan didukung data tentang kondisi sesungguhnya sasaran di lapangan
· Program harus memenuhi aspirasi, kebutuhan, masalah dan potensi masyarakar sasaran.
§ Program hendaknya tidak bernuansi “proyek” sesaat, namun harus memperhatikan keberlanjutan program-program berikutnya.
§ Menyangkut pendanaan program, tidak lagi memfokuskan pada keterbatasan anggaran (APBD), tetapi semaksimal mungkin menggali potensi pendanaan dari berbagai sumber non pemerintah (swasta, masyarakat, donor

No comments:

Post a Comment