Pages

WELCOME TO MY COURT

WELCOME TO MY COURT
If you say my eyes beautiful it's because their looking at You

Monday, July 12, 2010

* LAFAZ PENGEMBARA *




Masih tertinggal satu bintang diangkasa saat Aquarius tegar membungkuk dengan beban dipundaknya sambil menuangkan air kehidupan yang akan kuselami nantinya, ditemani seribu sembilan ratus delapan puluh delapan malaikat yang bergandengan menyaksikan kehadiran hamba sahaya tuan mereka. Hanya itu yang menjadi bukti dalam kehadiranku kedunia yang tak kuketahui sedikitpun apa yang ada didalamnya dan apa yang seharusnya kulakukan. Masih menjadi tanda tanya dalam benakku apakah ia akan keruh atau bergelombang hingga pecah dibibir pantai kebahagiaan saat kupercikkan dengan terjangan kakiku sendiri. Ya..aku menangis namun mereka penuh semangat dengan kehadiran diriku diantara wakil-wakil Tuhan untuk membimbingku bagaimana cara berjalan, bertindak bahkan memiliki keyakinan.
Sosok Bunda yang terlalu sabar dengan rengekan saat aku tak mampu menerima kenyataan, begitu juga Ayah yang begitu bijak dan tekun mengisi lembaran kosong yang menumpuk dalam pikiranku, Inilah diriku tercipta dengan membawa kehampaan pada dunia dan pada akhirnya akan ada peristiwa yang akan kuperankan ditengah derasnya bait gerimis.
Waktu tidak diam begitu saja, hingga akhirnya membawaku beranjak sedikit demi sedikit, kumulai jelajahi tiap fakta, berpersepsi, berpendapat semua itu selalu kulakukan dengan meminta pertimbangan sang ayah pahlawan kehidupanku. Ia tak pernah letih mengajarkankku tentang kehidupan walau tenggorokannya tak lagi basah. Suatu ketika ia melepaskanku mengikuti kehendak hatiku dengan menaruh berjuta harapan dan kepercayaannya agar aku kembali menjadi guru kehidupan untuk buah hati Bunda yang lain. Saat itupun tiba, aku berkelana sebatang kara dengan membawa begitu banyak lembaran kosong yang tersisa. Dalam pencarian itu aku takkan membiarkan waktu untuk berkelakar membenamkan uluran jemari suci yang kutakhtakan pada lembaran rapuh yang tercipta. Namun gurat kelabu itu tak surut demi mencicipi alur kusam yang hendak memanjakanku. Kakiku melangkah pada setapak tak berbidang, hingga ia terkecoh pada jala kusut. Mereka enggan berdialog dengan segumpal sinar terik pada kelopak mimpi indah yang mengalir bersama debur ombak dipantai Nirwana. Begitu bijaksananya ayah mengizinkanku untuk menumpahkan tetesan tinta dari tanganku sendiri, mungkinkah ia ingin aku untuk menjadi sesuatu yang beda dari dirinya yang belum sempurna menggapai keindahan cintaNya yang sebenarnya, aku masih tak tahu.
Dari sinilah aku melukiskan perjalananku mengikuti berbagai organsisasi sosial dan keagamaan, sampai kutemukan berlian yang disembunyikan pencipta alam semesta.
Kemilau bening yang kudapatkan ketika nafasku berhembus memecah butiran embun pagi pada kaca kehidupan mereka namun tak segelintir pun membahana pada relung hatinya , mungkinkah ada sinar lain yang lebih menyayat sehingga jalanku terburai oleh kepingan beku bayangan hitam atau memang kemuliaan selalu terbungkus pada semak berduri. Aku tak pernah tahu rahasia sang surya ketika bergelinding pada tikar basah kenyataan. Aku masih tegar ketika pijar musim semi tersenyum padaku dan bersenandung pada esok yang merekah. Aku ingin ia terus mekar pada pucuk-pucuk nelangsa sekalipun.
Ketika itu langit memudar, lembayung sang Adam menitipkan malapetaka nakal yang hendak mengajakku berkeliling sejenak menikmati pemandangan dunia saat padang gersang dihatiku menghijau, tak sadarkah ia bahwa tak ada waktu untuk berleha-leha ditengah kegalauan yang melanda saudara-saudaraku yang seiman. Benih kepedihan itu mulai tumbuh mematahkan jiwaku yang melapuk. Kusadari ada ngarai nestapa yang menganga dalam belantara keyakinanku. Apakah aku harus bersembunyi dengan hijab dibalik cadar gemerlap agar keindahan palsu tidak tampak pada tatapan nanar yang tak punya selaksa cinta atas paduka jagat raya, dan melumpuhkan kebijaksanaan sosok yang meletakkan kisah masa depannya dipundakku, maaf Ayah…aku akan tetap bertahan pada serpihan kehancuran itu dengan menyatukan kembali kepingan-kepingan yang berserakkan walaupun paragraf kehidupan yang kulalui tak terbaca paras sendu mencekam, Karena aku adalah wanita yang dialiri darah ketegaran dan kesabaran ayah yang harus menjaga kehormatanku demi martabat keluarga.
Tanpa kusadari keputusanku untuk bersandar pada sayap para malaikat malam memicu sebuah sandiwara angkuh, memejalkan kehampaan memeluk pelangi jingga dikaki langit dengan cahaya merah tak bermakna. Kutatap angkasa melalui kelopak matanya yang memerah kusam digenangi air yang berkilauan itu dengan bulir air dimataku. Jiwa-jiwa yang lain berceloteh membaur dengan lumpur legam, karena noda dibibirnya adalah puing kekalahan masa lampau. Aku akan tetap menoleh pada punggawa kehidupanku walau ia hanya mendengkur, tetapi mengapa mereka terlelap saat kuterjaga dibalik keruhnya kefana’an. Rona merah disudut mataku pun pudar diterpa semilir kerancuan yang datang silih berganti. Kutahu pintu surga takkan bocor terkikis oleh tangisanku , setidaknya aku berusaha untuk meraihnya dengan belenggu dikakiku. Tak jarang keangkuhan itu menjelma menjadi sebuah takdir agar pahit getirnya realita tetap tersusun rapi dalam tumpukan keperihanku yang mulai berdebu.
Orang-orang yang dulu tersenyum dengan keberadaanku dipelukannya sekejap hilang dalam kegelapan. Kucoba menerangi ruang gelap dihatinya dengan kepatuhan dan senyumanku pada dunia karena titik terang itu beringsut sirna dengan bertambahnya usia dunia penuh nista. Namun sia-sia sebab lencana kemenangan yang terpampang didada kirinya terlalu bebal.

Dalam keheningan malam aku duduk termangu bersama semesta yang nampak renta. Seakan runtuh menimpa semua beban atas keikhlasanku pada perih yang terpesona. Merenungi hari-hariku yang pernah singgah ditempat teduh terindah disamping mereka. Hingga kini semua itu menjadi keramat bagiku untuk menyapa sebab ketajaman mata hatinya tidak mampu menembus tirai ketulusanku akan hakikat rasa cinta yang sebenarnya. Setengah hatinya tertutup dan samar dalam memandang nyala api kebenaran yang ternyata hanya fatamorgana diterpa cahaya bulan dalam selubung kegelapan. Lelah kurasakan untuk meyakinkan pada gerimis dipipinya bahwa cakrawala tidak selalu mendung, sesekali akan cerah oleh sentuhan lembut perawan abadi. Aku tak berdaya dalam tingkah kalian menyandra keimananku demi perjalanan hidup baru, memang itu menjadikanku buta akan hidayah Rabb-ku tapi tidak bodoh untuk tidak mencarinya.
Dalam jejak kepahitan itu kepalsuan menjorok pada hingar bingar dentuman langkahku menuju singgasana berawan, membuyarkan angkara diceruk telaga kedamaian beningnya suasana yang mengharu biru. Kedamaian yang meronta itu menyamar sebagai belati dan menggeletar menanti sasaran yang akan dirobek. Keluarga ku telah bergerak menjauh dari pandanganku setelah tahu bahwa diriku telah berlayar dengan perahu lesung baru, kapankah mereka mengerti kalau aku hanya ingin bersama mereka dalam kasih sayang yang diridhoi Allah.
Kini tidak ada lagi tentram dihati kami saat mahkota penghormatan pada matahariku tergelincir oleh rintik kata-kata yang tak pantas terumbar dari langit-langit hatiku. Mereka menyerang dengan sabda-sabda kusam tanpa kelu. Terhalang menggapai masa depanku tak begitu mendera, namun bagaimana mungkin aku tidak menggerutu saat kicau penjaga surga terbias oleh kalimat beracun tak terkira.
Aku sangat menyayangi kalian hingga ingkar dalam pelukanmu, tetapi malam tak akan terganti siang dalam waktu bersamaan. Kini semuanya mengambang dalam kehampaan dunia setelah Roh yang tegar dihatiku kembali dengan iman yang terkoyak-koyak, kujalani semua fenomena yang telah dituliskan pada detik waktu yang berdenting tanpa sedikitpun memutar arah pada lintas pasir berdebu pekat.
Memang sukar untuk liar dalam sesak perangai makhluk terhormat dipersada dan tidak akan aneh sajak yang kuteriakkan dari pintal tangisan darah sekalipun jika purnama masih bersinar dalam kelam pulasnya raya diujung malam. Tak sanggup gusar memberingas ia telah teredam oleh jiwa rengsa sang uzur yang berusaha mengulur sejarah. Saat itu juga derma yang merongrong tak kuperhatikan karena ia hadir ditengah terjalnya panorama.
Aku hanya sanggup untuk memberontak diselasar vakum jauh dari ikrar manis prahara ini. Untung saja malaikat maut tak mendengar pada saat kumeraung menanti persembahannya. Mungkin ia tahu raga ini tak pantas menyerah pada insan yang tak direstui. Biarkan berkelana dengan selendang rapuh didadanya meski jerumbai zarah lekat tiada henti. Aku ingin kalian bertanya dihadapan pangkuan kesucian ibadah malam yang selalu ditangisi penghuni langit ketujuh tanpa menghardik pesona kerlip bintang karena itu tidak akan membuatnya berhenti hingga mentari membuatnya silau.
Jalan apalagi yang harus kulalui jika ribuan juta jengkal didepan mataku adalah zamrud katulistiwa terhampar dan tidak akan terlihat konyol jika mangkir dari durjana setelah serambi duniawi berseru mendayu-dayu akan kemegahan istana khayangan begitu pula belantika temaram dengan nyanyian merdu pemahat kebajikan.

***

Hingga saat inipun hidupku tetaplah lengang tanpa senda gurau dari Ayah, tanpa amarah ibunda, tanpa gelagat adik-adik yang mengusik ketenanganku, semua terasa hambar. Tapi kuyakin sang pencipta akan meniupkan sang bayu sampai kedalam lubuk hati terdalamnya sehingga derita yang kurasakan tidak berakhir dengan kisah memilukan. Aku juga mengerti mengapa Tuhan menitip beban ini di atas pundak rapuhku tidak lain ialah hanya untuk membuktikan bahwa setangkai rusuk Adam ini mampu membungkam segala ketidaksenonohan dibalik jelaga yang menebal dilarutnya malam.
Ingin kubisikan pada angin yang berhembus, air yang memercik dan pada gemuruh yang mendesah bahwa dalam pengembaraan ini telah kusulut api kebiadaban zaman agar bendera yang kugenggam menyala tepat pada binar matanya, binasa bersama tebing curam kemunafikkan itu sendiri.
Semua rasa sakit akibat badai kehidupan dalam perjalanan ini telah kusentuh dengan lidah keikhlasanku tanpa sejenak sesal dan pastinya masih ada perih lain tiada tara untuk kujalani agar dapat kubuktikan pada para Nabi bahwa aku pantas dicintai.

***The End***
PROFIL PENULIS

Nama : La Ode M. Syuhada Redzky Poetera F. Harris
TTL : Kendari, 04 Februari 1989
Pendidikan : Mahasiswa FISIPOL Jurusan Administrasi Negara Universitas Haluoleo angkatan 2007
Pekerjaan : Internet Operator CV. Yama Surya Net
Alamat : JL. HEA Mokodompit, Asrama AFI No. 3A Kampus Baru, Kendari Sulawesi Tenggara
Telepon : 085241558287
E-mail : muhammad.laode@yahoo.co.id
Website : www.Ankhgaraalharris.blogspot.com
Judul Cerpen : Lafaz Pengembara ( kupersembahkan Buak Kakak Nandun yang tersayang, How Much I love You, my sister )
Hoby : Basketball, Membaca dan Menulis
Pesan : Terbiasalah dengan kata tidak karena kenyataan itu tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan.

No comments:

Post a Comment